dan Bandung

SHE;
5 min readNov 26, 2023

--

cr to google

Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, katanya. Atau setidaknya itu yang tertulis pada dinding terowongan di Jalan Asia-Afrika yang baru saja Aubrey lewati. Matanya menelisik tiap sudut kota yang bisa tertangkap oleh penglihatannya. Langit sore yang gelap sebab matahari sudah mulai terbenam dan awan mendung masih menyisakan sedikit gerimis. Jalanan basah dan beberapa orang tampak berusaha mencari tempat berteduh. Suara klakson yang beberapa kali terdengar saat mobil melewati persimpangan. Semua orang sibuk dengan dunianya sendiri. Begitu juga Aubrey.

Mobil diisi keheningan karena Isaac mematikan radionya beberapa saat yang lalu dan kini hanya terdengar suara mesin pendingin juga bunyi sesapan Isaac pada kopi hitamnya. Aubrey diam, namun tidak dengan isi kepalanya.

Dari awal masuk ke dalam mobil, banyak sekali suara-suara menghuni pikirannya. Suara itu terkadang akan meneriakinya, membentak, memaki. Hubungannya dengan sang ibu tidak pernah baik. Atau mungkin pernah, saat ia masih kanak-kanak dan belum memahami pahitnya dunia. Tetapi sekarang, saat ini, detik ini, Aubrey bahkan memiliki keinginan untuk memblokir kontak yang ia beri nama ‘Mom’ itu atau bahkan menghapusnya. Agar Aubrey lupa. Agar ia tidak lagi bisa menerima kalimat-kalimat yang menjelma menjadi suara-suara aneh di otaknya.

Namun, terkadang juga terbesit sebuah suara yang menenangkan. Suara yang Aubrey tidak tahu pasti apakah itu hanya buah dari benang kusut yang mengacaukan isi pikirannya atau memang suara itu nyata dan tertangkap oleh daun telinganya, seolah-olah seseorang memang benar-benar mengucapkan kalimat itu padanya.

“Everything’s gonna be okay, Bey. Even if it’s not, at least you are here with me now”

Disusul tepukan hangat pada punggung tangannya.

Itu semua nyata, ternyata.

Aubrey tidak tahu perasaan apa yang menghingapi hatinya. Itu semua asing, tetapi ia tidak membencinya. Aubrey justru merasakan dirinya lega dan entah bagaimana, semuanya terasa aman.

Ia merasa semua akan baik-baik saja, meski untuk sejenak.

Perasaan yang sudah lama sekali tidak ia rasakan. Perasaan yang mungkin dulu selalu ia rasakan saat dunia terasa berputar demi dirinya seorang. Perasaan yang mati saat seseorang yang ia anggap malaikat penjaga tidak lagi berada di sisinya.

Aubrey benci membuat orang lain tahu bahwa sebenarnya dia lemah, bahwa banyak rasa sakit yang ia rasa.

Bahwa, banyak sekali cacat dalam dirinya.

Jadi ia membangun tembok yang tinggi dan kokoh, tidak membiarkan siapapun masuk dan melihat dirinya. Dirinya yang sebenarnya. The real Aubrey, the vulnerable one.

Kalau Rapunzel ingin bebas dari menara tempatnya dikurung, maka Aubrey menghendaki hal yang sebaliknya. Ia ingin terus menetap di menara itu. Selamanya, bila perlu.

Namun lagi dan lagi, semesta seperti memiliki takdir lain untuknya.

“Laper nggak, Bey?”

Pertanyaan itu sukses menarik Aubrey ke dunia nyata. Ia mengerjapkan matanya pelan, menoleh ke arah sang pengemudi. Ia berdehem pelan dan berusaha menghilangkan ‘keributan’ di dalam kepalanya.

“Belum terlalu. Lo laper?” ia melempar pertanyaan kembali pada lawan bicaranya.

“Lumayan. Rencananya nanti malem mau cari makan sih. Habis naruh barang di hotel”

Aubrey menanggapinya dengan anggukan pelan. Tangannya merogoh tas kecilnya dan memeriksa jam pada layar ponselnya.

“Mau ikut nggak, Bey?”

“Huh?”

Isaac menoleh, “Mau ikut nggak? Cari makan sama gua?”

Aubrey kembali menghadapi situasi ini. Situasi dimana sebenarnya ia bisa menolak. Ia tahu kalau dirinya punya hak atas hal itu. Isaac jelas bertanya dan menawari, ia bisa menjawab ya atau tidak. Namun, entah suara jenis apa yang kali ini menghasutnya, Aubrey menemukan dirinya mengangguk pelan dan bertatapan dengan Isaac saat sosok itu menoleh ke arahnya, menunggu jawaban.

“Mau”

Singkat dan padat, tetapi berhasil membuat Isaac tersenyum dan kembali menatap jalanan di depannya.

Maka di sinilah mereka. Sebuah tempat wisata yang berada tidak jauh dari tempat mereka menggelar pertunjukan esok hari. Floating Market Lembang.

Aubrey melihat ke sekeliling mereka saat Isaac sedang menukar uang dengan koin yang akan mereka pakai untuk bertransaksi selama berada di sana. Ia bisa melihat berbagai macam stand makanan yang berada di atas perahu warna-warni. Meski hari sudah gelap, Aubrey tetap merasa senang karena ini semua terasa baru untuknya.

“Ayo, Bey. Mau makan apa?”

Keduanya berjalan beriringan sembari melihat ke arah papan nama di atas tiap perahu yang menawarkan beraneka ragam makanan. Aubrey melihat salah satu stand yang tampak sedikit ramai dan menunjuk dengan dagunya.

“Pengen tahu gejrot, deh. Gue kesana ya” pamitnya setelah menerima beberapa keping koin dari Isaac.

Keduanya berpisah sejenak dan akhirnya duduk di sebuah meja dengan dua buah kursi. Aubrey melahap tahu gejrotnya sementara Isaac kembali dengan sepiring siomay di tangannya.

Lelaki itu juga membawa beberapa bakpao dengan lukisan karakter lucu di atasnya.

“Lo suka bakpao, Sa?” tanya Aubrey menatap penasaran makanan berbentuk bulat di depannya.

Not really. Lucu aja”

Jawaban asal dari Isaac berhasil membuat keduanya terkekeh dan Aubrey menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Selesai dengan makanannya, Aubrey mengambil sepotong bakpao dengan lukisan karakter minion. Ia tersenyum kecil saat perpaduan kulit bakpao yang kenyal dan hangat juga isian coklat di dalamnya menyatu dengan sempurna di lidahnya.

Dan semua itu tidak luput dari pandangan Isaac. Ia bahkan menghentikan agenda melahap siomaynya selama beberapa saat karena sekarang ia merasa seperti sedang bersama dengan adik sepupunya yang berusia 10 tahun alih-alih seorang pemuda seusianya.

“Tuhkan, lucu”

Aubrey berhenti mengunyah, “Yes, they did a great job painting the bakpao and — ”

“Yang lucu yang lagi makan bakpaonya, maksud gua”

Aubrey mengerjapkan matanya sebentar, berusaha memroses kalimat dari Isaac yang sudah sibuk kembali dengan siomay miliknya.

Saat tersadar, Aubrey hanya bisa melanjutkan agenda memakan bakpaonya dengan pipi yang terasa hangat juga kedua kakinya yang tidak bisa berhenti mengayun di bawah meja.

Selesai dengan agenda makan malam mereka, Isaac mengajak Aubrey berkeliling di sekitar danau sebelum beranjak pulang. Udara terasa cukup dingin mengingat hujan baru berhenti beberapa saat yang lalu. Ia menoleh dan melihat Aubrey yang tampak beberapa kali menggigil sebab pemuda itu hanya memakai cardigan di tubuhnya.

Entah mengapa, Isaac akhir-akhir ini suka bertindak tanpa berpikir jauh. Tanpa menimbangnya dua kali. Isi hati dan pikirannya tidak pernah selaras tetapi Isaac rasa, terkadang mengikuti apa yang hatinya kehendaki tidaklah buruk.

Jadi, setelah menimbang-nimbang beberapa detik, Isaac kalah juga.

Ia raih sebelah tangan Aubrey untuk ia genggam dan memasukkan tautan tangan mereka pada saku hoodienya.

Aubrey jelas terkejut. Ia menoleh secepat kilat dan menatap tautan tangan mereka serta wajah Isaac bergantian.

“Sa,”

You’re freezing, Bey. Cuma sampe parkiran aja, okay?

Aubrey belajar satu hal lagi hari itu. Bahwa ada sumber kehangatan lain yang bisa menghangatkan dirinya selain heater yang berada di apartemennya. Bahkan bisa menghangatkan hatinya juga alih-alih hanya tangannya.

“Dan Bandung, bagiku, bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi” — Pidi Baiq

--

--